Rabu, 07 Desember 2011

MUHKAM & MUTASYABIH DALAM AL-QUR'AN

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Allah menurunkan al-Qur’an kepada hambanya agar ia menjadi pemberi peringatan bagi semesta alam. Ia menggariskan bagi makhlukNya itu aqidah yang benar dan prinsip-prinsip yang lurus dalam ayat-ayat yang tegas keterangannya dan jelas cirri-cirinya. Itu semua merupakan karuniaNya kepada umat manusia. Dimana ia menetapkan bagi mereka pokok-pokok agama untuk menyelamatkan aqidah mereka dan menerangkan jalan lurus yang harus mereka tempuh.
Pokok-pokok agama tersebut dibeberapa tempat dalam al-Qur’an terkadang datang dengan lafazh, ungkapan dan uslub (gaya bahasa) yang berbeda-beda tetapi maknanya tetap satu. Maka sebagiannya serupa dengan sebagian yang lain, tetapi maknanya cocok dan serasi. Tidak ada kontradiktif di dalamnya. Adapun mengenai masalah cabang (furu’) agama yang bukan masalah pokok, ayat-ayatnya ada yang bersifat umum dan juga mutasyabih (samar-samar) yang memberikan peluang bagi para mujtahid yang handal dan dalam ilmunya untuk dapat mengembalikan maknanya kepada yang muhkam. Dengan cara mengembalikan yang furu’ (cabang) kepada masalah ushul (pokok), dan yang bersifat juz’I (parsial) kepada yang bersifat kulli (universal).
Ibn Habib an-Naisaburi pernah mengemukakan tiga pendapat kaitan ayat-ayat Al-Qur’an dan muhkam-mutasyabih.
Pertama, seluruh ayat al-Qur’an adalah muhkam berdasarkan firman Allah dalam QS. Hud: 1 yang artinya: “Alim lam raa, inilah suatu kitab yang ayat-ayatnya disusun dengan rapi serta dijelaskan secara terperinci yang diturunkan dari sisi Allah yang Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui “.
Kedua, seluruh ayat al-Qur’an adalah mutasayabih berdasarkan firman-Nya: “Allah telah menurunkan perkataan yang paling baik, yaitu Al-Qur’an yang serupa (mutu ayat-ayatnya) lagi berulang-ulang.” (QS. Az Zumar : 23)
Ketiga, pendapat yang paling tepat, ayat-ayat al-Qur’an terbagi dalam dua bagian, yaitu muhkam dan mutasyabih berdasarkan firman Allah: “Dialah yang menurunkan Al Kitab (Al-Qur’an) kepada kamu. Diantara isisnya ada ayat-ayat yang muhkamat, itulah pokok-pokok kitab al-Qur’an dan yang lain ayat-ayat mutasyabihat. Adapun orang-orang yang dalam batinnya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti sebagian ayat-ayat yang mutasayabihat untuk menimbulkan fitnah dan untuk mengetahui ta’wilnya, padahal tidak ada yang mengetahui ta’wilnya melainkan Allah. Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata, kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyabih, semuanya itu dari sisi Tuhan kami. Dan tidak dapat mengambil pelajaran darinya melainkan orang-orang yang berakal.” (QS. Ali Imran : 7)
B. Rumusan Masalah
Adapun pembahasan-pembahasan mengenai muhkam dan mutasyabih dalam al-Qur’an adalah mencakup beberapa poin sebagaimana berikut
1. Pengertian Muhkam dan Mutasyabih
2. Contoh-Contoh Ayat
3. Perbedaan Ulama tentang Muhkam dan mutasyabih serta Argumentasi Masing-Masing
4. Rahasia Muhkam dan Mutasyabih dalam al-Qur’an

BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Muhkam dan Mutasyabih
Secara etimologi (bahasa), muhkam berarti suatu ungkapan yang maksud makna lahirnya tidak mungkin diganti atau diubah (ma ahkam al-Murad bib’an al-Tabdil wa at-Taghyir) . Adapun mutasyabih adalah ungkapan yang maksud makna lahirnya samar.
Adapun menurut pengertian terminologi (istilah), muhkam dan mutasyabih diungkapkan para ulama seperti berikut ini :
Ada yang mengatakan bahwa yang muhkam adalah yang maksudnya dapat diketahui dengan gamblang, baik melalui takwil (metafora) ataupun tidak. Dan yang mutasyabih adalah yang hanya diketahui oleh Allah, seperti terjadinya hari kiamat, keluarnya Dajjal, huruf-huruf yang terputus-putus yang terdapat pada awal surat-surat.
Ada yang mengatakan bahwa yang muhkam adalah yang telah jelas maknanya dan yang mutasyabih adalah antonimnya.
Ada yang mengatakan bahwa yang muhkam adalah yang hanya dapat ditakwilkan dengan satu pentakwilan saja. Dan yang mutasyabih adalah yang mungkin ditakwilkan dengan beberapa takwil.
Ada yang mengatakan bahwa yang muhkam adalah yang logis maknanya. Dan yang mutasyabih adalah antonimnya, seperti jumlah bilangan shalat , pengkhususan bulan Ramadhan sebagai bulan yang diwajibkan untuk berpuasa, bukan Sya’ban. Ini adalah pendapat al-Mawardi.
Ada yang mengatakan bahwa yang muhkam adalah yang berdiri sendiri. Dan yang mutasyabih tidak dapat berdiri sendiri, tetapi harus dikembalikan kepada yang lainnya.
Ada yang mengatakan bahwa yang muhkam adalah dimana takwilnya merupakan penurunannya. Dan yang mutasyabih adalah yang tidak dapat diketahui kecuali dengan takwil .
Ada yang mengatakan bahwa yang muhkam adalah yang tidak berulang-ulang lafadz-lafadznya. Dan yang mutasyabih adalah antonimnya.
Ada yang mengatakan bahwa yang muhkam adalah hukum-hukum yang wajib, janji dan ancaman. Dan yang mutasyabih terdapat pada kisah-kisah dan perumpamaan-perumpamaan.
Ibn Abi Hatim mengeluarkan sebuah riwayat dari “Ali bin Abi Thalib dari Ibn “Abbas yang mengatakan bahwa ayat-ayat muhkam adalah ayat yang menghapus (nasikh), berbicara tentang halal haram, ketentuan-ketentuan (hudud), kafarduan, serta yang harus diimani dan diamalkan. Adapun ayat-ayat mutasyabih adalah ayat yang dihapus (mansukh, yang berbicara tentang perumpamaan-perumpamaan (amtsal), sumpah (aqsam), dan yang harus diimani, tetapi tidak harus diamalkan.
Dari pengertian-pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa inti muhkam adalah ayat-ayat yang maknanya sudah jelas, tidak samar lagi. Yang masuk ke dalam kategori muhkam adalah nash (kata yang menunjukkan sesuatu yang dimaksud dengan terang dan tegas, dan memang untuk makna itu ia disebutkan). Adapun mutasyabih adalah ayat-ayat yang maknanya belum jelas.
B. Contoh-Contoh Ayat
Sebagaimana telah dijelaskan dalam pengertian di atas, bahwa ayat-ayat muhkam berisi tentang halal, haram, hudud, kewajiban janji dan ancaman. Sedangkan ayat-ayat mutasyabih berisi tentang asma Allah dan sifat-sifatNya. Berikut akan diuraikan beberapa contoh ayat al-Qur’an yang termasuk ayat muhkam dan mutasyabih.
1. Contoh ayat muhkam
يَايّّّهَاالنَاسُ اِنّا خَلَقنكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَاُنْثى وَجَعَلْنكُمْ شعُوْبًا وَقباَئِلَ لِتَعَارَفُوْا اِنّ اَكْرَمَكُمْ عِنْدَاللهِ اَتقكُمْ اِنّ اللهَ عَلِيْمٌ خَبِيْرٌ (الحجرات : 13)
Artinya : Hai manusia sesaungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia disisi Allah adalah orang yang bertaqwa. Sesungguhnya Allah maha mengetahui lagi maha mengenal. (Al-Hujarat : 13)
ياَيّهَاالنَاسُ اعْبُدُوْا رَبّكُمُ اّّلذِيْ خلَقكُمْ وَالّذِيْنَ مِنْ قبْلِكُمْ لَعَلكُمْ تتقوْنَ (البقرة : 21)
Artinya : Hai manusia, sembahlah Tuhanmu yang telah menciptakanmu dan orang-orang yang sebelum kamu, agar kamu bertaqwa. (al-Baqarah : 21)
وَاَحَلّ اللهُ الْبَيْعَ وَحَرّمَ الرِّبوا (البقرة : 275)…
Artinya : Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. (al-Baqarah : 275)
حُرّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتةُ وَالدّمُ وَلَحْمُ الْخِنْزِيْرِ وَمَااُهِلّ لِغيْرِ اللهِ بِه (المائدة : 3)…
Artinya : Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disenbelih atas nama selain Allah. (al-Maidah : 3)
2. Contoh ayat mutasyabih
اَلرّحْمنُ عَلَى الْعَرْشِِِِِ اسْتَوى (طه : 5)
Artinya : Yaitu Tuhan yang Maha Pemurah yang bersemayan diatas Arsy (Thaha : 5 )
كُلّ شيْءٍ هَاِلكٌ اِلا وَجْهَه (القصص : 88)
Artinya : Tiap-tiap sesuatu pasti binasa kecuali wajah Allah (al Qashash: 88)
وَيَبْقى وَجْهُ رَبّكَ ذُوْالْجَلالِ وَالاكْرَامِ (الرحمن : 27)
Artinya : Dan tetap kekal wajah Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan ( Arrahman : 27 )
يَدُاللهِ فوْق اَيْدِيْهِمْ (الفتح : 10)
Artinya : Tangan Allah diatas tangan mereka ( al Fath : 10)
بَلْ يَدهُ مَبْسُوْطتانِ (المائدة : 64)
Artinya : Tidak demikian, tapi kedua-dua tangan Allah terbuka ( al Maidah)

C. Perbedaan Ulama tentang Muhkam dan Mutasyabih serta Argumentasi Masing-Masing
Sebagaimana terjadi perbedaan pendapat tentang defenisi muhkam dan mutasyabih dalam maknanya secara terminology, perbedaan pendapat juga terjadi dalam masalah ayat yang mutasyabih . Sumber perbedaan pendapat itu berpangkal pada masalah waqaf (berhenti) dalam ayat berikut :
…وَمَا يَعْلَمُ تَاءْوِيْلَه اِلااللهُ وَالرّاسِخُوْنَ فِى الْعِلْمِ يَقُوْلُوْنَ اَمَنا بِه… (ال عمران : 7)
Apakah kedudukan lafazh وَالرّاسِخُوْنَ فِى الْعِلْمِ ini sebagai mubtada’ yang khabarnya adalah يَقُوْلُوْنَ dengan wawu diperlakukan sebagai huruf isti’naf (permulaan) dan waqaf dilakukan pada lafazh وَمَا يَعْلَمُ تَاءْوِيْلَه اِلااللهُ ataukah ia ma’thuf ? Sedang lafazh يَقُوْلُوْنَ menjadi hal dan waqafnya pada lafazh وَالرّاسِخُوْنَ فِى الْعِلْمِ Dalam hal ini ada dua pendapat.
Pendapat pertama, mengatakan “isti’naf”. Pendapat ini didukung oleh sejumlah tokoh seperti Ubay bin Ka’ab, Ibnu Mas’ud, Ibnu Abbas, sejumlah sahabat tabi’in dan lainnya. Mereka beralasan antara lain dengan keterangan yang diberikan oleh Al-Hakim dalam mustadrakNya, bersumber dari Ibnu Abbas, bahwa ia membaca; “wa ma ya’lamu ta’wilahu illa Allah, wa ar-rasikhuna fil ‘ilmi yaquluna amanna bihi.”
Juga dengan qira’at Ibnu Mas’ud, “Wa inna ta’wilahu ‘indallahi wa ar-rasikhuna fi al-‘ilmi yaquluna amanna bihi,” dan dengan ayat itu sendiri yang menyatakan celaan terhadap orang-orang yang mengikuti hal-hal yang mutasyabih dan menyifatinya sebagai oarng-orang yang hatinya condong kepada kesesatan dan berusaha menimbulkan fitnah.
Dari Aisyah, ia berkata: Rasulullah membaca ayat ini “huwalladzi anzala “alaika al –kitab” sampai dengan “ulul albab.” Kemudian beliau bersabda: “Apabila kamu melihat orang yang suka mengikuti ayat-ayat mutasayabihat, maka mereka itulah yang disinyalir Allah. Maka waspadalah terhadap mereka.”
Pendapat kedua, mengatakan bahwa “wawu” sebagai huruf “athaf. Ini dipilih oleh segolongan ulama lain yang dipelopori oleh Mujahid. Diriwayatkan dari Mujahid, katanya, “Saya telah membacakan mushaf kepada Ibnu Abbas mulai dari Al-Fatihah sampai tamat. Saya pelajari sampai paham setiap ayatnya dan saya tanyakan kepadanya tentang tafsirannya.”
Pendapat ini juga didukung oleh Imam An-Nawawi. Dalam Syarahnya ia menegaskan, “Pendapat inilah yang paling shahih karena tidak mungkin Allah menyeru hamba-hambaNya dengan uraian yang tidak ada jalan untuk mengetahuinya.” Ulama lain yang mendukung pendapat ini adalah Abu Hasan Al-Asy’ary dan Abu Ishaq Asy-Syirazy (476 H). Asy_syirazy berkata, “Tidak ada tu ayatpun yang maksudnya hanya diketaui Allah.” Para ulama sesungguhnya juga mengetahuinya. Jika tidak, apa bedanya mereka dengan orang awam ?”
Dengan merujuk kepada makna takwil (at-Ta’wil), maka akan jelaslah bahwa antara kedua pendapat di atas tidak terdapat pertentangan, karena lafazh “takwil” digunakan untuk menunjukkan tiga makna:
Memalingkan sebuah lafazh dari makna yang kuat (rajih) kepada makna yang lemah (marjuh) karena ada suatu dalil yang menghendakinya. Inilah pengertian takwil yang dimaksudkan oleh mayoritas ulama muta’akhirin.
Takwil dengan makna tafsir (menerangkan, menjelaskan), yaitu pembicaraan untuk menafsirkan lafazh-lafazh agar maknanya dapat dipahani.
Takwil adalah pembicaraan tentang substansi (hakekat) suatu lafazh. Maka, takwil tentang zat dan sifat-sifat Allah ialah tentang hakekat zatNya itu sendiri yang kudus dan hakekat sifat-sifatNya. Dan takwil tentang hari kemudian yang diberitakan Allah adalah substansi yang ada pada hari kemudian itu sendiri.
Golongan yang berpendapat bahwa waqaf dilakukan pada lafazh “Wama ya’lamu ta’wilahu illallah” dan menjadikan “War-rasikhuna fil “ilmi” sebagai isti’naf (kalimat permulaan) mengatakan, bahwa takwil dalam ayat ini ialah takwil dengan pengertian yang ketiga, yakni hakekat yang dimaksud dari sesuatu perkataan. Karena itu hakekat zat Allah, esensiNya, makna nama dan sifatNya serta hakekat hari kemudian tidak ada yang mengetahui selain Allah.
Sebaliknya, golongan yang mengatakan waqaf pada lafazh ”War-rasikhuna fil ‘ilmi” dengan menjadikan “wawu” sebagai huruf athaf, bukan isti’naf. Memaknai kata takwil tersebut dengan makna yang kedua yakni tafsir. Sebagaimana dikemukakan Mujahid (seorang ahli tafsir terkemuka). Mengenai Mujahid ini Ats-Tsauri berkata, “Jika dikatakan ia mengetahui, ia mengetahui yang mutasyabih, maksudnya ialah bahwa ia mengetahui tafsirannya.
Dengan demikian jelaslah bahwa pada hakekatnya tidak ada pertentangan antara kedua pendapat tersebut. Dan masalahnya hanya berkisar pada arti takwil.
Argumentasi Para ulama terhadap ayat muhkam dan mutasyabih
Secara umum penulis telah menguraikan argumentasi para ulama terhadap perbedaan ayat-ayat muhkam dan mutasyabih. Namun dalam hal ini penulis mencoba mengkerujutkan lagi argumentasi ulama tersebut dalam dua kelompok yaitu;
Mazdhab Salaf, yaitu para ulam yang mempercayai dan mengimani ayat-ayat mutasyabih dan menyerahkan sepenuhnya kepada Allah sendiri. (Tafwidh ilallah). Mereka menyucikan Allah dari pengertian-pengertian lahir yang mustahil bagi Allah dan mengimaninya sebagaimana yang diterangkan al-Qur’an.
Mazdhab Khalaf, yaitu para ulama yang berpendapat perlunya mentakwilkan ayat-ayat mutasyabih yang sifat Allah sehingga melahirkan arti yang sesuai dengan keluhuran Allah.
Berbeda dengan ulama salaf yang menyucikan Allah dari pengertian lahir ayat-ayat mutasyabih itu, mengimani hal-hal ghaib sebagaimana dituturkan al-Qur’an, dan myerahkan bulat-bulat pengertian itu kepada Allah, ulama khalaf memberikan pentakwilan terhadap ayat-ayat mutasyabih. Istiwa’ ditakwilkan dengan keluhuran yang abstrak, berupa pengendalian Allah terhadap alam ini tanpa merasa kesusahan.”kedatangan Allah” ditakwilkan dengan kedatangan perintahnya. “Allah berada di atas hambaNya” menunjukkan kemahatinggianNya, bukan menunjukkakn bahwa Dia menempati suatu tempat. “sisi Allah” ditakwilkan dengan hak Allah. “wajah dan mata Allah” ditakwilkan pengawasanNya, dan “diri” ditakwilkan dengan siksaNya. Demikianlah prinsip penafsiran ulama khalaf. Kesan-kesan pada ayat al-Qur’an ditakwilkan dengan arti yang cocok dengan kesucian Allah.
Untuk menengahi kedua mazhab yang kontradiktif itu, Ibn ad-Daqiq al-‘Id mengatakan bahwa apabila pentakwilan yang dilakukan terhadap ayat-ayat mutasyabih dikenal oleh lisan Arab, pentakwilan itu tidak perlu diingkari. Jika tidak dikenal oleh lisan Arab, kita harus mengambil sikap tawaqquf (tidak membenarkan dan tidak pula menyalahkan) dan mengimani maknanya sesuai apa yang dimaksud ayat-ayat itu dalam rangka menyucikan Allah.
Ibnu Quthaibah (276 H) menentukan dua syarat bagi absahnya sebuah pentakwilan. Pertama, makna yang dipilih sesuai dengan hakekat kebenaran yang diakui oleh mereka yang otoritas. Kedua, arti yang dipilih dikenal oleh bahasa Arab klasik.

D. Rahasia Muhkam dan Mutasyabih dalam al-Qur’an
Rahasia muhkam dan mutasyabih dalam al-Qur’an adalah agar kita dapat memetik hikmah dibalik keberadaan ayat-ayat yang terdapat yang terdapat dalam al-Qur’an. Adapun hikmahnya adalah sebagai berikut;
1. Memperlihatkan kelemahan akal manusia
Akal sedang dicoba untuk meyakini keberadaan ayat-ayat mutasyabih sebagaimana Allah memberi cobaan pada badan untuk beribadah. Seandainya akal yang merupakan anggota badan paling mulia itu tidak diuji, tentunya seseorang yang berpengetahuan tinggi akan menyombongkan keilmuannya sehingga enggan tunduk kepada naluri kehambaan.
Ayat-ayat mutasyabih merupakan sarana bagi penundukan akal terhadap Allah karena kesadarannya akan ketidakmampuan akalnya untuk mengungkap ayat-ayat mutasyabih itu.
2. Teguran bagi orang-orang yang mengotak-atik ayat mutasyabih
Pada penghujung surat Al-Imran ayat 7, Allah menyebutkan wa ma yadzdzakkaru illa ulu Al- albab sebagi cercaan terhadap orang-orang yang mengotak-atik ayat-ayat mutasyabih. Sebaliknya, memberikan pujian pada orang-orang yang mendalami ilmunya, yakni orang-orang yang tidak mengikuti hawa nafsunya untuk mengotak-atik ayat—ayat mutasyabih sehingga mereka berkata rabbana latuzigh qulubana. Mereka menyadari keterbatasan akalnya dan mengharapkan ilmu ladunni.
3. Memberikan pemahaman abstrak-ilahiah kepada manusia melalui pengalaman indrawi yang biasa disaksikannya.
Sebagaimana diketahui bahwa pemahaman diperoleh manusia tatkala ia diberi gambaran indrawi terlebih dahulu. Dalam kasus sifat-sifat Allah, sengaja Allah memberikan gambaran fisik agar manusia dapat lebih mengenal sifat-sifatNya. Bersamaan dengan itu, Allah menegaskan bahwa diriNya tidak sama dengan hambaNya dalam hal pemilikan anggota badan.

DAFTAR PUSTAKA
Al-Qaththan, Manna’, Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2009.
Al-Qur’an dan Terjemahnya, Jumanatul ‘Ali, Bandung : 2004.
Anwar,Rosihon, Ulum Al-Qur’an, Bandung: CV Pustaka Setia, 2008.
Ash-Shalih, Subhi, Mabahits fi ulum Al-Qur’an, Beirut: Dar Al-Qalam li Al-Malayyin, 1988.
As Sayuti, Jalaluddin, Samudera Ulumul Qur’an, jilid 3, Surabaya: PT Bina ILmu, 2007.
Khalil al-Qattan, Manna’, Studi Ilmu-Ilmu Qur’an, Jakarta: Litera AntarNusa, 1992.
Muhammad bin ‘Alawi Al-Maliki Al-Hasan, Mutiara Ilmu-Ilmu Al-Qur’an, terj. Rosihon Anwar, Bandung: Pustaka Setia,1999.
Shihab, Quraish, Membumikan Al-Qur’an, Bandung: Mizan, 1992.

1 komentar:

  1. Salam,

    Sedikit penambahan/pembetulan, sila lihat penjelasan ayat2 muhkam dan mutasyabih dlm http://kajian-quran.blogspot.com/

    wajib kita beriman bahwa seluruh ayat2 Al-Quran samada muhkam atau mutasyabih adalah ayat-ayat yg jelas lagi terang. menjadi kufur sekiranya kita mengatakan bahwa ayat2 mutasyabihat itu ayat2 yg kurang jelas atau samar2 sbb Allah menyatakan ayat2 mutasyabihat adalah ayat2 petunjuk "hudan".
    Mana mungkin petunjuk atau hudan itu boleh kabur atau samar-samar sbb hudan itulah yg akan menjadikan umat Islam umat terbaik "khaira ummatin".

    BalasHapus

 

blogger templates | Habib Kerrong