Rabu, 24 September 2014

Pemimpin Kacangan?


Menelaah ulang perihal peran pemuda dan pemimpin dalam proses transformasi disegala lapisan kehidupan menjadi sesuatu yang tidak kalah ribetnya dengan mengkaji filsafat. Menjadi pemimpin bukan hanya bicara soal kecerdasan, kharisma, kewibawaan, komunikasi, tampilan, dan segala macam atribut yang biasa dilekatkan pada figure pemimpin.
Pemimpin diakui atau tidak adalah soal ada atau tidaknya yang mengikuti. Sedangkan, hadirnya pengakuan dan kepengikutan itu yang mengubah seseorang jadi pemimpin. Menjadi pemimpin adalah soal pengakuan dari yang dipimpin, sebuah rumusan sederhana yang sering terlupakan.
Apalagi, ketika kita mendengar Pemimpin Muda, kata yang terdengar sangat hebat dan berpengaruh, menjadi pemimpin di masa muda merupakan hal yang pastinya membanggakan. Karena, ditangannya-lah nasib orang-orang yang Dibawahinya, tanggungjawabnya sangat besar disaat usianya tergolong sebagai pemuda.
Masa muda diberi label sebagai masa penuh kebahagiaan dan senang-senang, kini semua itu tidak bisa dibuktikan. Sebenarnya, jika konteksnya masalah pemimpin tua atau muda tidak jadi masalah, karena setiap manusia pasti memiliki kekurangan dan kelebihan tersendiri.
Kedudukan pemimpin saat ini sangat diperebutkan oleh para pemuda, padahal kalau kita bisa meneliti dan mengkaji ulang secara detail, Pemimpin jauh lebih banyak pahitnya dari pada masyarakat yang dipimpin. Diyakini atau tidak, sosok pemimpin-lah merupakan tempat berteduhnya yang dipimpin dan seharusnya jauh lebih pintar dan cerdas dari bawahannya, dikarenakan semua perkara ketika yang dipimpin tidak mampu untuk menyelesaikan, Maka hal inilah yang harus diselesaikan oleh pemimpin.
Seorang pemimpin memang mempunyai kekuasaan, tapi pemimpin sejati menjadi pemimpin bukan untuk menjadi penguasa. Pemimpin merupakan pemegang tanggungjawab untuk membawa yang dipimpin pada tujuan bersama, bukan sibuk mewujudkan keinginan sendiri bersama-sama.
Pemimpin adalah Pelayan, bukanlah yang dilayani. Ketika melihat fakta saat ini, semuanya telah terbalik dan hakikat kepemimpinan sudah mulai pudar. Apalagi, ketika melihat pemimpin yang maunya memerintah saja tanpa mau mengerti bagaimana keadaan yang dipimpin. Pemimpin sejatinya harus tau akan kesengsaraan yang dipimpin. Tidak benar jika pemimpin tidak merasakan kesengsaraan orang-orang yang ia bawahi. Salah pula jika kini posisi pemimpin disamakan dengan penguasa.
Ketika melihat keadaan saat ini, yang sudah terbalik lalu siapa yang akan disalahkan? Tak perlu mencari siapa yang salah, yang perlu adalah saling berintrospeksi serta saling nasehat menasehati. Selayaknya calon pemimpin muda kita yang menjadi pencetus dan pendobrak kekeliruan. Sehingga tidak dimungkinkan ada bahasa “kebiasaan itu bisa dijadikan Hukum”.
Berbicara panjang lebar terkait Kepemimpinan sungguh sangat tidak selayaknya saya menyajikan ini karena sejatinya Penulis masih belum sepenuhnya menjadi calon pemimpin yang baik. Jadi malu ketika mengingat salah satu ayat yang berbunyi “Kaburo maqtan inda Allah an taqulu mala taf alun”

Satu pesan, ketika dalam hati kita timbul perasaan untuk memimpin, maka tanamkanlah pertanyaan ini di hati Sahabat dalam-dalam, Sudah siapkah kita mengemban amanah dan menanggung resikonya?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 

blogger templates | Habib Kerrong