Menelaah ulang
perihal peran pemuda dan pemimpin dalam proses transformasi disegala lapisan
kehidupan menjadi sesuatu yang tidak kalah ribetnya dengan mengkaji filsafat.
Menjadi pemimpin bukan hanya bicara soal kecerdasan, kharisma, kewibawaan,
komunikasi, tampilan, dan segala macam atribut yang biasa dilekatkan pada
figure pemimpin.
Pemimpin diakui atau tidak adalah soal ada atau tidaknya yang
mengikuti. Sedangkan, hadirnya pengakuan dan kepengikutan itu yang mengubah
seseorang jadi pemimpin. Menjadi pemimpin adalah soal pengakuan dari yang
dipimpin, sebuah rumusan sederhana yang sering terlupakan.
Apalagi, ketika kita mendengar Pemimpin Muda, kata yang
terdengar sangat hebat dan berpengaruh, menjadi pemimpin di masa muda merupakan
hal yang pastinya membanggakan. Karena, ditangannya-lah nasib orang-orang yang
Dibawahinya, tanggungjawabnya sangat besar disaat usianya tergolong sebagai
pemuda.
Masa muda diberi label sebagai masa penuh kebahagiaan dan
senang-senang, kini semua itu tidak bisa dibuktikan. Sebenarnya, jika
konteksnya masalah pemimpin tua atau muda tidak jadi masalah, karena setiap
manusia pasti memiliki kekurangan dan kelebihan tersendiri.
Kedudukan pemimpin saat ini sangat diperebutkan oleh para
pemuda, padahal kalau kita bisa meneliti dan mengkaji ulang secara detail,
Pemimpin jauh lebih banyak pahitnya dari pada masyarakat yang dipimpin.
Diyakini atau tidak, sosok pemimpin-lah merupakan tempat berteduhnya yang
dipimpin dan seharusnya jauh lebih pintar dan cerdas dari bawahannya,
dikarenakan semua perkara ketika yang dipimpin tidak mampu untuk menyelesaikan,
Maka hal inilah yang harus diselesaikan oleh pemimpin.
Seorang pemimpin memang mempunyai kekuasaan, tapi pemimpin
sejati menjadi pemimpin bukan untuk menjadi penguasa. Pemimpin merupakan
pemegang tanggungjawab untuk membawa yang dipimpin pada tujuan bersama, bukan
sibuk mewujudkan keinginan sendiri bersama-sama.
Pemimpin adalah Pelayan, bukanlah yang dilayani. Ketika
melihat fakta saat ini, semuanya telah terbalik dan hakikat kepemimpinan sudah
mulai pudar. Apalagi, ketika melihat pemimpin yang maunya memerintah saja tanpa
mau mengerti bagaimana keadaan yang dipimpin. Pemimpin sejatinya harus tau akan
kesengsaraan yang dipimpin. Tidak benar jika pemimpin tidak merasakan
kesengsaraan orang-orang yang ia bawahi. Salah pula jika kini posisi pemimpin
disamakan dengan penguasa.
Ketika melihat keadaan saat ini, yang sudah terbalik lalu
siapa yang akan disalahkan? Tak perlu mencari siapa yang salah, yang perlu
adalah saling berintrospeksi serta saling nasehat menasehati. Selayaknya calon
pemimpin muda kita yang menjadi pencetus dan pendobrak kekeliruan. Sehingga
tidak dimungkinkan ada bahasa “kebiasaan itu bisa dijadikan Hukum”.
Berbicara panjang lebar terkait Kepemimpinan sungguh sangat
tidak selayaknya saya menyajikan ini karena sejatinya Penulis masih belum
sepenuhnya menjadi calon pemimpin yang baik. Jadi malu ketika mengingat salah
satu ayat yang berbunyi “Kaburo maqtan inda Allah an taqulu mala taf alun”
Satu pesan, ketika dalam hati kita timbul perasaan untuk
memimpin, maka tanamkanlah pertanyaan ini di hati Sahabat dalam-dalam, Sudah
siapkah kita mengemban amanah dan menanggung resikonya?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar