Kamis, 26 April 2012

T A U B A T

BAB I
PENDAHULUAN 
A. Latar Belakang
Al-hamdulillah, puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT., yang telah memberikan Rahmat dan Taufiq-Nya sehingga makalah ini bisa terselesaikan. Sholawat dan salam mudah-mudahan tetap mengalir deras keharibaan baginda Rosul kita, Nabi Muhammad SAW. Yang telah mengangkis kita dari alam kejahilan manuju Alam penuh dengan pendidikan dengan adanya agama Islam dan Iman. Dalam pembuatan makalah ini, penulis ingin memberikan gambaran bagi mereka yang ingin memperdalam ilmu tasawwuf. Bahwa sebelum mencapai tingkatan yang tinggi, mereka harus melalui beberapa proses. Proses ini yang lambat laun akan mengantarkan mereka pada tingkatan tinggi (ma’rifat). Didalam proses inilah ada maqam-maqam—yang penulis bahasakan dengan proses—yang akan menjadi tantangan bagi mereka. Dalam tugas yang penulis terima ada pada maqam yang pertama yakni maqam taubat. Yang akan menjadi pintu pertama atau menurut penulis bagaikan orang yang sedang bersyahadad untuk masuk Islam yang posisinya ada pada tangga pertama. Tanpa tangga pertama mereka akan kesulitan, jika memaksa melompat pada tangga yang selanjutnya maka dia akan jatuh dalam artian dia akan gagal. Maka dari itu kami (penulis) akan memberikan gambaran mengenai tantangan yang ada pada maqam pertama.mudah-mudahan bermanfa’at. Amin. Selesainya makalah ini, tentu saja tidak lepas daridorongan dan bantuan beberapa pihak. Untuk itu, dalam kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah berperan dan membantu penulisan makalah ini. Pertama penulis berterima kasih pada Dosen pengampuh yang telah memberikan tugas bagi kami sehingga, kami dapat belajar dan tahu tentang maqam taubat pada khususnya. Dan juga kepada teman-teman saya yang ikut andi baik berupa saran maupun pelurusan dalam penyelesaian makalah ini. Sebelum akhir, kami mohon kritikan yang tentunya bersifat membangun bagi kami, agar dapat evaluasi diri di dalam pembuatan makalah yang selanjutnya.
B. Rumusan Masalah
1. Apa definisi dari maqam taubat?
 2. Bagaimana posisi maqam taubat dalam ajaran tasawwuf ?
 BAB II 
PEMBAHASAN MAQAM TAUBAT 
Secara etimologi (bahasa) yang berarti kembali, sedangkan secara terminologi (istilah) adalah kembalinya seseorang kepada Allah setelah melakukan maksiat. Taubat marupakan rahmat Allah yang diberikan kepada hamba-Nya agar mereka dapat kembali kepada-Nya. Taubat adalah maqam awal—yang menjadi syarat sebelum menjalankan maqam-maqam selanjutnya—yang harus dilalui oleh seorang(salik) yang memang benar-benar ingin mendapatkan kenikmatan berjumpa dengan Allah, tentunya ini tidak lepas dari pembersihan diri. Dengan pembersihan yang sempurna maka hijab-hijab yang membatasi antara Makhluk dan Khaliq akan terbongkar. Imam Ghazali berpendapat bahwa taubat itu mengandung 3 unsur, yaitu ilmu, keadaan, dan perbuatan. Pertama, ilmu artinya taubat dilakukan berdasarkan kesadaran dan ilmu, diketahui dengan sadar bahwa, perbuatan yang telah dilakukan itu adalah perbuatan yang berdosa, karena itu harus benar-benar dijauhi. Kadua, keadaan, hendaklah timbul suatu keadaan baik yang berbentuk jeritan/tangisan yang timbul ataupun lahir dari lubuk hati yang paling dalam. Sehingga mengimplikasin pada rasa penyesalan atau bersalah yang kemudian berjanji untuk tidak mengulangi kembali. Ketiga, perbuatan, dari unsur yang kedua diatas timbullah niat yang kuat dan bersungguh-sungguh untuk tidak akan melakukan dosa sebagaimana yang telah dilakukan sebelumnya. Jadi ketiga unsur ini, hemat penulis lebih cenderung pada definisi taubatan nashuha. Yang mana taubat yang tingkatannya paling tinggi di hadapan Allah adalah "Taubat Nasuha", yaitu taubat yang murni. Sebagaimana dijelaskan dalam surat At-Tahrim: 66, يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا تُوبُوا إِلَى اللَّهِ تَوْبَةً نَصُوحًا عَسَى رَبُّكُمْ أَنْ يُكَفِّرَ عَنْكُمْ سَيِّئَاتِكُمْ وَيُدْخِلَكُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الأنْهَارُ يَوْمَ لا يُخْزِي اللَّهُ النَّبِيَّ وَالَّذِينَ آمَنُوا مَعَهُ نُورُهُمْ يَسْعَى بَيْنَ أَيْدِيهِمْ وَبِأَيْمَانِهِمْ يَقُولُونَ رَبَّنَا أَتْمِمْ لَنَا نُورَنَا وَاغْفِرْ لَنَا إِنَّكَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ Artinya; "Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubat yang semurni-murninya, mudah-mudahan Tuhan kamu akan menghapus kesalahan-kesalahanmu dan memasukkan kamu ke dalam Surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, pada hari ketika Allah tidak menghinakan Nabi dan orang-orang yang beriman bresamanya, sedang cahaya mereka memancar di depan dan di sebelah kanan mereka, sambil mereka mengatakan 'Ya Tuhan kami, sempurnakanlah bagi kami cahaya kami dan ampunilah kami, sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu. Pada tahap taubah ini, seorang sufi membersihkan dirinya (tazkiyyah al-nafs) dari perilaku yang menimbulkan dosa dan bersalah atau dari sesuatu yang dicela oleh syara’ menuju sesuatu yang dipuji olehnya. Abu Al-Qasim Al-Junaid bin Muhammad seorang tokoh sufi ia menjelaskan bahwa taubat penghapusan dosa seseorang. Pertanyaan yang senada juga dialami oleh Abu Muhammad Sahl Abdullah Al-Tustari dengan jawaban bahwa taubat berarti tidak melupakan dosa seseorang. Artinya, dalam hal ini, kita mengingat dosa yang telah kita perbuat untuk memohon ampun dan menjauhi dosa semacam yang pernah diperbuatnya. Maka dari itu, taubat itu sendiri tidak sah kecuali dengan menyadari dosa tersebut mengakui dan berusaha mengatasi akibat-akibat dari dosa yang dilakukan. Dan hemat penulis, ini bisa juga berarti bangunnya jiwa manusia yang kemudian melahirkan kesadaran terhadap segala kekurangan atau kesalahannya dan berkeinginan ataupun menetapkan tekat/berani yang disertai dengan amal perbuatan untuk memperbaiki diri. Secara rinci ulama’ persyaratan bahwa taubat itu ada tiga perkara yaitu;
1. Menyesal, 2. Berhenti dari dosa, dan 3. Bertekat tidak mengulanginya. Taubat tidaklah ada tanpa didahului oleh penyesalan terhadap dosa yang dikerjakan. Barang siapa yang tidak menyesal maka menunjukkan bahwa ia senang dengan perbuatan tersebut dan menjadi indikasi bahwa ia akan terus menerus melakukannya. Akankah kita percaya bahwa seseorang itu bertaubat sementara dia dengan ridho masih terus melakukan perbuatan dosa tersebut? Hendaklah ia membangun tekad yang kuat di atas keikhlasan, kesungguhan niat serta tidak main-main. Adapun jika perbuatan dosa itu berhubungan dengan manusia maka syarat keempat yang harus dipenuhi ialah menyelesaikan persoalan terhadap orang yang bersangkutan. Ini yang kemudian memposisikan maqam taubat menjadi posisi paling awal (urgen). Dalam Agama Islam tidak memandang manusia bagaikan malaikat tanpa kesalahan dan dosa sebagaimana Islam tidak membiarkan manusia berputus asa dari ampunan Allah, betapa pun dosa yang telah diperbuat manusia sebagimana firmannya;     Artinya,“dan Akulah yang Maha Penerima Tobat lagi Maha Penyayang.” (Al-Baqarah:160) Bahkan Nabi Muhammad telah membenarkan hal ini dalam sebuah sabdanya yang berbunyi: “setiap anak adam pernah berbuat kesalahn/dosa dan sebaik-baik orang yang berbuat dosa adalah mereka yang bertaubat (dari kesalahan tersebut). Taubat dari segala kesalahan tidaklah membuat seorang terhina di hadapan Tuhannya. Hal itu justru akan menambah kecintaan dan kedekatan seorang hamba dengan Tuhannya karena sesungguhnya Allah sangat mencintai orang-orang yang bertaubat dan mensucikan diri. Sebagaimana firmanya dalam surat Al-Baqarah: 222, "Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang taubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri. Taubat dalam Islam tidak mengenal perantara, bahkan pintunya selalu terbuka luas tanpa penghalang dan batas. Merugilah orang-orang yang berputus asa dari rahmat Allah dan membiarkan dirinya terus-menerus melampai batas. Padahal, pintu taubat selalu terbuka dan sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya karena sesungguhnya Dialah yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Untuk mencapai maqam taubat ini, seorang salik harus meyakini dan mempercayai bahwa irodah (kehendak) Allah meliputi segala sesuatu yang ada. Termasuk bentuk ketaatan salik, keadaan lupa kepada-Nya, dan nafsu syahwatnya, semua atas kehendak-Nya. Disamping itu, Dzu Nun Al-Mishry berpendapat bahwa, “hakikat tobat itu adalah menjadikan dunia yang luas ini sempit bagimu, sehingga engkau tidak mempunyai pilihan lain kecuali menjadikan dirimu terasa sempit bagi dirimu sendiri. BAB III PENUTUP Kesimpulan Secara etimologi (bahasa) yang berarti kembali, sedangkan secara terminologi (istilah) adalah kembalinya seseorang kepada Allah setelah melakukan maksiat. Taubat marupakan rahmat Allah yang diberikan kepada hamba-Nya agar mereka dapat kembali kepada-Nya. Taubat adalah maqam awal—yang menjadi syarat sebelum menjalankan maqam-maqam selanjutnya—yang harus dilalui oleh seorang(salik) yang memang benar-benar ingin mendapatkan kenikmatan berjumpa dengan Allah, tentunya ini tidak lepas dari pembersihan diri. Dengan pembersihan yang sempurna maka hijab-hijab yang membatasi antara Makhluk dan Khaliq akan terbongkar. Posisi maqom taubat didalam ajaran tasawwuf menempati posisi yang cukup urgen. Maqam taubat merupakan pintu masuk seseorang didalam menjalani thoriqot sebelum masuk pada pintu-pintu yang lain. Bahkan ada yang mengatakan taubat itu wajib hukumnya bagi seorang sufi. Disamping itu Taubat tidaklah ada tanpa didahului oleh penyesalan terhadap dosa yang dikerjakan. Barang siapa yang tidak menyesal maka menunjukkan bahwa ia senang dengan perbuatan tersebut dan menjadi indikasi bahwa ia akan terus menerus melakukannya. Akankah kita percaya bahwa seseorang itu bertaubat sementara dia dengan ridho masih terus melakukan perbuatan dosa tersebut? Hendaklah ia membangun tekad yang kuat di atas keikhlasan, kesungguhan niat serta tidak main-main. Adapun jika perbuatan dosa itu berhubungan dengan manusia maka syarat keempat yang harus dipenuhi ialah menyelesaikan persoalan terhadap orang yang bersangkutan. Ini yang kemudian memposisikan maqam taubat menjadi posisi paling awal (urgen).

DAFTAR PUSTAKA
  Rohim, Khoirur. Ust. 2004. TAUBAT, cara tepat membersihkan dosa. Surabaya: Pustaka Agung Harapan.
 Labib. Ust. Mz. 2004. Memahami Ajaran Tasawwuf. Surabaya: Bintang Usaha Jaya.
 Labib. Ust. Mz. 2004. Ajaran Tasawwuf dan Thoriqot , kehidupan para sufi. Surabaya: Bintang Usaha Jaya.
 Al-Munajjid, Muhammad Shalih. 2005. Perkenankan Aku Tobat. Jakarta Selatan: KORPUS.
 Abdullah Al-Afifi, Thaha. 1992. TOBAT, sebagai wasiat Rosulullah Saw. Surabaya: Risalah Gusti.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 

blogger templates | Habib Kerrong